Senin, 09 Maret 2020

Kasus Bank Bali dan 10 Pemimpin Politik Terkorup di Dunia

Kasus Bank Bali
Salah satu Bank yang ada di Indonesia Tengah, yaitu Bank Bali, terlibat dengan kasus suap menyuap, apa yang sebenarnya terjadi dan siapa yang menjadi korban suap tersebut.
Salah satu drama dalam gelombang krisis moneter 1997-1998 adalah skandal cessie Bank Bali. Skandal ini menyangkut sejumlah nama besar, mulai Gubernur Bank Indonesia, sejumlah pejabat negara, tokoh partai Golkar seperti Setya Novanto, bahkan menyerempet nama Presiden RI ketiga, BJ Habibie. Bahkan dalam kasus ini, Rudy Ramli – Direktur Utama Bank Bali yang juga anak kandung Djaya Ramli, pendiri Bank Bali – menjadi pesakitan dan dijadikan sebagai tersangka. Proses hukum Bank Bali sungguh berliku dan sebenarnya belum benar-benar tuntas hingga saat ini. Sementara nama Bank Bali sudah lama mati.
Skandal ini bermula saat Direktur Utama Bank Bali kala itu, Rudy Ramli kesulitan menagih piutangnya yang tertanam di brankas Bank Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Umum Nasional (BUM), dan Bank Tiara pada 1997. Total piutang Bank Bali di tiga bank itu sekitar Rp 3 triliun. Hingga ketiga bank itu masuk perawatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), tagihan tersebut tak kunjung cair. Di tengah keputusasaannya, akhirnya Rudy Ramli menjalin kerja sama dengan PT Era Giat Prima (EGP). di mana Djoko Tjandra duduk selaku direktur dan Setya Novanto yang saat itu Bendahara Partai Golkar menjabat direktur utamanya. Januari 1999, antara Rudy Ramli dan Era Giat menandatangani perjanjian pengalihan hak tagih. Disebutkan, Era Giat bakal menerima fee yang besarnya setengah dari duit yang dapat ditagih. Bank Indonesia (BI) dan BPPN akhirnya setuju mengucurkan duit Bank sejumlah Rp 905 miliar. Namun Bank Bali hanya mendapat Rp 359 miliar. Sisanya, sekitar 60% atau Rp 546 miliar, masuk rekening Era Giat.
Menurut beberapa informasi, kekuatan politik turut andil mengegolkan proyek ini. Saat itu sejumlah tokoh Golkar disebut-sebut terlibat untuk ”membolak-balik” aturan dengan tujuan proyek pengucuran duit itu berhasil.

Berikut ini kronologi Kasus Bank Bali:
11 Januari 1999
Perjanjian pengalihan (cessie) tagihan piutang antara pihak Bank Bali (Rudy Ramli dan Rusli Suryadi) dan Joko S Tjandra selaku Direktur PT Persada Harum Lestari mengenai tagihan piutang Bank Bali terhadap Bank Tiara sebesar Rp 38.000.000.000 dibuat. Penyerahan kepada BB selambat-lambatnya tanggal 11 Juni 1999.
Dibuat juga perjanjian pengalihan (cessie) tagihan piutang antara dua pihak yang sama. Namun dalam perjanjian ini, Joko Tjandra berperan sebagai Direktur PT Era Giat Prima (EGP). Perjanjian ini mengenai tagihan piutang Bank Bali terhadap BDNI dan BUN dengan nilai pokok seluruhnya sebesar Rp 798.091.770.000. Penyerahan kepada BB selambat-lambatnya 3 bulan sejak tanggal perjanjian ini dibuat.
Direktur Utama Bank Bali Rudy Ramli dan Direktur Firman Sucahya menandatangani perjanjian cessie dengan Direktur Utama PT EGP Setya Novanto. Melalui perjanjian itu, BB menjual seluruh tagihan pinjaman antarbanknya kepada BDNI, BUN (keduanya dilikuidasi 1998), dan Bank Bira pada PT EGP. Total tagihan pinjaman antarbank milik Bank Bali kepada BDNI, BUN dan Bank Bira mencapai Rp 3 triliun.

8 September 1999
Laporan hasil audit terhadap PT Bank Bali oleh PricewaterhouseCoopers (PwC) terbit. Tata cara yang berlaku untuk GGS pada BPPN dan BI tidak cukup untuk menghindari terulangnya kejadian serupa. PwC mengusulkan agar dibuat metode terpadu untuk menyelamatkan dana yang sudah diselewengkan pada masa lalu.
PwC menganjurkan dilakukan investigasi atas pihak-pihak tertentu, seperti menteri, pejabat senior pemerintah, oknum anggota DPR dan partai, serta pelaku bisnis terkemuka, namun tidak dianjurkan atas individu tertentu.

27 September 1999
Perkara korupsi cessie Bank Bali yang melibatkan Joko Tjandra mulai diusut oleh Kejaksaan Agung sesuai dengan laporan dari Bismar Mannu, Direktur Tindak Pidana Korupsi kepada Jaksa Agung.

29 September 1999 - 8 November 1999
Joko ditahan oleh Kejaksaan.

9 November 1999 - 13 Januari 2000
Joko Tjandra menjadi tahanan kota kejaksaan.

14 Januari 2000 - 10 Februari 2000
Joko kembali ditahan oleh kejaksaan.

9 Februari 2000
Kasus cessie skandal Bank Bali dengan Terdakwa Joko Tjandra diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

10 Februari 2000 - 10 Maret 2000
Berdasarkan ketetapan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Joko Tjandra kembali menjadi tahanan kota.

6 Maret 2000
Putusan sela hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan dakwaan jaksa terhadap kasus Joko Tjandra tidak dapat diterima. Joko Tjandra dilepaskan dari tahanan kota. Jaksa mengajukan permohonan perlawanan ke Pengadilan Tinggi.

31 Maret 2000
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan permohonan perlawanan ke Pengadilan Tinggi. Memerintahkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memeriksa dan mengadili Joko Tjandra.

19 April 2000
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menunjuk Soedarto (hakim ketua majelis), Muchtar Ritonga dan Sultan Mangun (hakim anggota) sebagai Hakim yang memeriksa dan mengadili Joko Tjandra.

April 2000 – Agustus 2000
Upaya berhasil. Proses persidangan Joko Tjandra selaku Direktur Utama PT Era Giat Prima mulai bergulir. Joko Tjandra didakwa jaksa penuntut umum (JPU) Antasari Azhar telah melakukan tindak pidana Korupsi dalam kasus Bank Bali.
Fakta-fakta menunjukkan, pemindahbukuan dari rekening bendaharawan negara ke Bank Bali berdasarkan penjaminan transaksi PT BDNI terhadap Bank Bali menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 904.642.428.369.
Joko Tjandra pun dituntut hukuman 1 tahun 6 bulan atau 18 bulan penjara. Joko juga dituntut membayar denda sebesar Rp 30 juta subsider enam bulan kurungan, serta harus membayar biaya perkara sebesar Rp 7.500.
Sedang uang sebesar Rp 546 miliar milik PT Era Giat Prima yang berada di escrow account Bank Bali agar dikembalikan pada negara.

28 Agustus 2000
Majelis hakim memutuskan Joko S Tjandra lepas dari segala tuntutan (onslag). Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan, sebenarnya dakwaan JPU terhadap perbuatan Joko Tjandra terbukti secara hukum. Namun perbuatan tersebut bukanlah merupakan suatu perbuatan pidana melainkan perbuatan perdata. Akibatnya, Joko Tjandra pun lepas dari segala tuntutan hukum.

21 September 2000
Antasari, selaku JPU mengajukan kasasi.

26 Juni 2001
Majelis hakim agung MA melepaskan Joko S Tjandra  dari segala tuntutan. Putusan sendiri  diambil dengan mekanisme voting dikarenakan adanya perbedaan pendapat antara hakim Sunu Wahadi dan M Said Harahap dengan hakim Artidjo Alkotsar mengenai permohonan kasasi Joko Tjandra yang diajukan oleh JPU.

12 Juni 2003
Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengirim surat kepada direksi Bank Permata agar menyerahkan barang bukti berupa uang Rp 546,4 miliar. Pada hari yang sama, direksi Bank Permata mengirim surat ke BPPN untuk meminta petunjuk. Permintaan ini akhirnya tak terwujud dengan keluarnya putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan BPPN.

17 Juni 2003
Direksi Bank Permata meminta fatwa MA atas permintaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan di atas.

19 Juni 2003
BPPN meminta fatwa MA dan penundaan eksekusi keputusan MA (Juni 2001) yang memperkuat keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang membebaskan Joko Tjandra. Alasannya, ada dua keputusan MA yang bertentangan.

25 Juni 2003
Fatwa MA untuk direksi Bank Permata keluar. Isinya menyatakan MA tidak dapat ikut campur atas eksekusi Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

1 Juli 2003
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Antasari Azhar menyatakan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dinilai menghambat proses hukum yang sedang dijalankan oleh Kejaksaan Agung selaku pihak eksekutor.

2 Maret 2004
Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan memanggil Direktur Utama PT Bank Permata Tbk, Agus Martowardojo. Pemanggilan ini terkait dengan rencana eksekusi pencairan dana senilai Rp 546 miliar untuk PT Era Giat Prima (EGP) milik Joko Tjandra dan politikus Partai Golkar Setya Novanto.

Oktober 2008
Kejaksaan Agung mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kasus korupsi cessie Bank Bali dengan terdakwa Joko Tjandra ke Mahkamah Agung.

11 Juni 2009
Majelis Peninjauan Kembali MA yang diketuai Djoko Sarwoko dengan anggota I Made Tara, Komariah E Sapardjaja, Mansyur Kertayasa, dan Artidjo Alkostar memutuskan menerima Peninjauan Kembali  yang diajukan Jaksa. Selain hukuman penjara dua tahun, Joko Tjandra juga harus membayar denda Rp 15 juta. Uang milik Djoko Tjandra di Bank Bali sejumlah Rp 546.166.116.369 dirampas untuk Negara.
Imigrasi juga mencekal Djoko Tjandra. Pencekalan ini juga berlaku bagi terpidana kasus cessie Bank Bali lainnya, Syahril Sabirin. Mantan Gubernur BI yang juga divonis 2 tahun penjara.

16 Juni 2009
Joko mangkir dari panggilan Kejaksaan untuk dieksekusi. Joko diberikan kesempatan 1 kali panggilan ulang, jika tidak kooperatif akan dinyatakan buron. Diduga Joko saat ini berada di Singapura.
Djoko mangkir dari panggilan Kejaksaan untuk dieksekusi. Djoko diberikan kesempatan 1 kali panggilan ulang, namun kembali tidak menghadiri panggilan Kejaksaan, sehingga Djoko dinyatakan sebagai buron.
Djoko diduga telah melarikan diri ke Port Moresby, Papua New Guinea, menggunakan pesawat carteran sejak 10 juni 2009 atau sehari sebelum vonis dibacakan oleh MA.

Juli 2012
Wakil Jaksa Agung Darmono menyatakan otoritas pemerintah PNG telah memberikan kewarganegraan kepada Djoko Tjandra, sehingga eksekusi terhadapnya mengalami kesulitan.

Sumber :




10 Pemimpin Politik Terkorup di Dunia
Seorang politikus yang punya jabatan tinggi disuatu negara seperti kepala negara tentu rentan terhadap godaan korupsi. Hal tersebut terjadi karena banyak faktor. Mereka yang tergoda dengan korupsi, ialah pemimpin yang memiliki mental yang lemah.
Selain itu, korupsi juga dilakukan karena tingginya biaya politik yang mereka keluarkan atau pun karena mereka ingin memperkaya diri sendiri dengan waktu yang singkat. Dan mengenai politikus dan korupsi, berikut ini daftar 10 pemimpin politik yang namanya abadi karena melakukan tindak korupsi. 

1.     Soeharto
Soeharto adalah Presiden kedua Indonesia yang menjabat dari tahun 1967 sampai 1998, menggantikan Soekarno yang pernah menjabat sebagai presiden selama 32 tahun di Indonesia.
Bahkan dia juga masuk dalam daftar presiden terkorup di dunia. Dan tentunya hal ini bukan sebuah prestasi yang patut dibanggakan. Selama menjabat, ia seringkali menempatkan keluarganya dalam jajaran jabatan penting. Bahkan ia juga memberikan perusahaan-perusahaan besar kepada anaknya.
Diperkirakan ia melakukan tindakan untuk menguntungkan pribadinya sebesar 15 sampai 35 dolar atau sekitar Rp 465 triliun. Wah benar-benar nilai yang sangat fantastis. 

2.     Ferdinand Marcos
Presiden Filipina yang menjabat pada tahun 1972 sampai tahun 1986 ini jadi presiden yang paling terkorup kedua setelah Soeharto. Dalam masa pemerintahannya selama 14 tahun itu, ia memimpin dengan sifat diktator.
Dan uang negara yang ia korupsi untuk kepentingan pribadinya sebesar 5 sampai 10 miliar dollar.  Jika dirupiahkan uang tersebut benar-benar nilai yang begitu fantastis yakni bernilai Rp 114 triliun.

3.     Mobutu Sese Seko
Mobutu merupakan salah satu pasien terkorup di dunia. Pemimpin yang memimpin Zaire atau saat ini lebih dikenal Kongo ini, telah puluhan tahun berkuasa.  Bahkan masa jabatannya, lebih lama dari Soeharto yang hanya 32 tahun.
Ia berkuasa mulai tahun 1969 sampai 1997. Selama menjabat sebagai presiden, ia telah mengorupsi uang negara sebasar 5 miliar dollar. Jika dirupiahkan sebesar Rp 66,5 triliun.

4.     Sani Abcha
Saat dipimpin oleh Sani Abcha, Nigeria mengalami berbagai macam permasalahan, termasuk perang sipil. Mantan presiden Nigeria ini merupakan salah satu presiden terkorup.
Ia menyalahgunakan jabatannya untuk mengeruk keuntungan pribadinya di tengah kelaparan yang melanda negaranya. Menjabat selama lima tahun, mulai tahun 1993 sampai 1998 ia telah melakukan korupsi sebesar 2 sampai 5 milyar dolar. Jika dirupiahkan sebesar Rp 66, 5 triliun.

5.     Slobodan Milosevic
Slobodan Milosevic adalah presiden Yugoslavia. Selama 11 tahun menjabat, mulai dari tahun 1989 sampai tahun 2000, ia melakukan tindak korupsi yang cukup besar, yakni mengorupsi uang negara sebesar 1 miliar dollar atau sekitar Rp 14,4 triliun.
Uang sebanyak itu, digunakannya untuk kesenangan pribadi dan memperkaya dirinya sendiri. Namun aksinya tersebut harus berakhir setelah ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara.

6.     Jean Claude Duvalier
Jean Claude Duvalier merupakan presiden yang melakukan korupsi dan berhasil mencuri uang negaranya sendiri, Haiti.  Ia merupakan presiden ke -30 yang mulai menjabat pada tahun 1971 sampai 1986.
Selama menjadi presiden, ia menyalahgunakan jabatannya untuk mengeruk uang negara dengan jumlah angka  yang cukup fantastis yakni sekitar 300 sampai 800 juta dolar atau sekitar Rp 11 triliun.
Jean sendiri juga cukup akrab dengan  pemerintah Amerika setelah mendirikan lembaga anti komunis. Ia sendiri memiliki gaya hidup yang cukup mewah. Bahkan dalam pernikahannya, ia mendapatkan sponsor dari negara sebesar 3 juta dollar.

7.     Alberto Fujiomoro
Pria kelahiran 1938 ini merupakan presiden ke 90 dari negara Peru. Ia menjabat mulai dari tahun 1990 sampai dengan 2000. Meskipun ia menciptakan sistem ekonomi yang stabil di Peru, namun ia melakukan pemerintahan dengan otoriter dan menyalahgunakannya untuk korupsi.
Ia merupakan warga Peru yang memiliki keturunan Jepang. Saat ia terlibat skandal korupsi, ia sempat melarikan diri ke Jepang. Saat itu ia sempat membuat pengunduran diri sebagai Presiden, namun pemerintah Peru, tetap ingin memberikan hukuman kepada Fujimoro.
Meskipun ia juga sempat kabur ke Chili, namun ia tetap berhasil ditangkap dan akhirnya di extradisi ke Peru untuk dihukum. Selama 10 tahun menjabat, ia telah memakan uang rakyat sebesar 600 juta dolar atau sekitar Rp 8,3 triliun.

8.     Pavlo Lazarenko
Pavlo Lazarenko memang bukanlah Presiden Ukraina.  Ia hanya seorang perdana menteri. Meskipun begitu, ia pun ikut terlibat dalam kasus korupsi di negara Ukraina. Bahkan ia melakukan tindak korupsi hanya dalam waktu singkat ia menjabat. 
Selama setahun ia menjabat, mulai tahun 1996 sampai 1997, ia telah mengkorupsi uang negara sebesar 114 sampai 200 juta dolar atau sekitar Rp 2,33 triliun. Dan bisa dibayangkan, jika ia menjabat lebih lama lagi, atau menjadi seorang presiden, berapa besar uang yang akan ia korupsi.

9.     Arnoldo Aleman
Sebelum menjadi Presiden Nicaragua, dulunya Arnoldo merupakan seorang pengacara.  Namun sebagai seorang yang mengerti hukum, ia malah melakukan perubahan yang tak patut dicontoh. Ia justru melakukan tindak korupsi yang merugikan Nicaragua.
Ia menjadi Presiden Nicaragua pada tahun 1997 sampai tahun 2002. Saat ia menjadi seorang presiden, Arnoldo melakukan korupsi senilai 100 juta dolar atau sekitar Rp 1,33 triliun. 
Karena ulahnya tersebut, seperti penggelapan uang, pencucian uang, ia pun akhirnya dihukum selama 20 penjara.

10.  Joseph Estrada
Pria kelahiran 1937 ini, merupakan Presiden ke 13 Filipina periode 1998 sampai 2001. Sebelum berkiprah dalam dunia politik,  Joseph merupakan seorang aktor film yang sudah seringkali main dan mendapatkan penghargaan.
Saat menjadi presiden, ia ketahuan menjarah uang negara sebesar 78 sampai 80 juta dolar atau sekitar Rp 1 triliun lebih. Hingga akhirnya ia dihukum beberapa tahun. Namun pada 2007, ia mendapatkan pengampunan tanpa syarat dari Presiden Gloria Macapagal Arroyo.  
  

Diatas adalah rincian 10 pemimpin politik yang memberikan jejak negatif pada bangsanya yaitu menjadi pemimpin politik terkorup di dunia dan nomor pertama adalah soeharto yaitu presiden ke2 di Indonesia. 



sumber : https://www.malangtimes.com/baca/38471/20190421/092400/10-pemimpin-negara-terkorup-sepanjang-masa-siapa-juaranya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar