Salah satu Bank yang ada di Indonesia
Tengah, yaitu Bank Bali, terlibat dengan kasus suap menyuap, apa yang
sebenarnya terjadi dan siapa yang menjadi korban suap tersebut.
Salah satu drama dalam gelombang krisis
moneter 1997-1998 adalah skandal cessie Bank Bali. Skandal ini menyangkut
sejumlah nama besar, mulai Gubernur Bank Indonesia, sejumlah pejabat negara,
tokoh partai Golkar seperti Setya Novanto, bahkan menyerempet nama Presiden RI
ketiga, BJ Habibie. Bahkan dalam kasus ini, Rudy Ramli – Direktur Utama
Bank Bali yang juga anak kandung Djaya Ramli, pendiri Bank Bali –
menjadi pesakitan dan dijadikan sebagai tersangka. Proses hukum Bank Bali
sungguh berliku dan sebenarnya belum benar-benar tuntas hingga saat ini.
Sementara nama Bank Bali sudah lama mati.
Skandal ini bermula saat Direktur Utama Bank
Bali kala itu, Rudy Ramli kesulitan menagih piutangnya yang tertanam di brankas
Bank Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Umum Nasional (BUM), dan Bank
Tiara pada 1997. Total piutang Bank Bali di tiga bank itu sekitar Rp 3 triliun.
Hingga ketiga bank itu masuk perawatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN), tagihan tersebut tak kunjung cair. Di tengah keputusasaannya, akhirnya
Rudy Ramli menjalin kerja sama dengan PT Era Giat Prima (EGP). di mana Djoko
Tjandra duduk selaku direktur dan Setya Novanto yang saat itu Bendahara Partai
Golkar menjabat direktur utamanya. Januari 1999, antara Rudy Ramli dan Era Giat
menandatangani perjanjian pengalihan hak tagih. Disebutkan, Era Giat bakal
menerima fee yang besarnya setengah dari duit yang dapat ditagih. Bank
Indonesia (BI) dan BPPN akhirnya setuju mengucurkan duit Bank sejumlah Rp 905
miliar. Namun Bank Bali hanya mendapat Rp 359 miliar. Sisanya, sekitar 60% atau
Rp 546 miliar, masuk rekening Era Giat.
Menurut beberapa informasi, kekuatan politik
turut andil mengegolkan proyek ini. Saat itu sejumlah tokoh Golkar
disebut-sebut terlibat untuk ”membolak-balik” aturan dengan tujuan proyek
pengucuran duit itu berhasil.
Berikut ini kronologi Kasus Bank Bali:
11 Januari 1999
Perjanjian pengalihan (cessie)
tagihan piutang antara pihak Bank Bali (Rudy Ramli dan Rusli Suryadi) dan Joko
S Tjandra selaku Direktur PT Persada Harum Lestari mengenai tagihan piutang
Bank Bali terhadap Bank Tiara sebesar Rp 38.000.000.000 dibuat. Penyerahan
kepada BB selambat-lambatnya tanggal 11 Juni 1999.
Dibuat juga perjanjian
pengalihan (cessie) tagihan piutang antara dua pihak yang sama. Namun dalam
perjanjian ini, Joko Tjandra berperan sebagai Direktur PT Era Giat Prima (EGP).
Perjanjian ini mengenai tagihan piutang Bank Bali terhadap BDNI dan BUN dengan
nilai pokok seluruhnya sebesar Rp 798.091.770.000. Penyerahan kepada BB
selambat-lambatnya 3 bulan sejak tanggal perjanjian ini dibuat.
Direktur Utama Bank Bali Rudy
Ramli dan Direktur Firman Sucahya menandatangani perjanjian cessie dengan
Direktur Utama PT EGP Setya Novanto. Melalui perjanjian itu, BB menjual seluruh
tagihan pinjaman antarbanknya kepada BDNI, BUN (keduanya dilikuidasi 1998), dan
Bank Bira pada PT EGP. Total tagihan pinjaman antarbank milik Bank Bali kepada
BDNI, BUN dan Bank Bira mencapai Rp 3 triliun.
8 September 1999
Laporan hasil audit terhadap
PT Bank Bali oleh PricewaterhouseCoopers (PwC) terbit. Tata cara yang berlaku
untuk GGS pada BPPN dan BI tidak cukup untuk menghindari terulangnya kejadian
serupa. PwC mengusulkan agar dibuat metode terpadu untuk menyelamatkan dana
yang sudah diselewengkan pada masa lalu.
PwC menganjurkan dilakukan
investigasi atas pihak-pihak tertentu, seperti menteri, pejabat senior
pemerintah, oknum anggota DPR dan partai, serta pelaku bisnis terkemuka, namun
tidak dianjurkan atas individu tertentu.
27 September 1999
Perkara korupsi cessie Bank
Bali yang melibatkan Joko Tjandra mulai diusut oleh Kejaksaan Agung sesuai
dengan laporan dari Bismar Mannu, Direktur Tindak Pidana Korupsi kepada Jaksa
Agung.
29 September 1999 - 8 November 1999
Joko ditahan oleh Kejaksaan.
9 November 1999 - 13 Januari 2000
Joko Tjandra menjadi tahanan
kota kejaksaan.
14 Januari 2000 - 10 Februari 2000
Joko kembali ditahan oleh
kejaksaan.
9 Februari 2000
Kasus cessie skandal Bank Bali
dengan Terdakwa Joko Tjandra diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
10 Februari 2000 - 10 Maret 2000
Berdasarkan ketetapan Wakil
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Joko Tjandra kembali menjadi tahanan
kota.
6 Maret 2000
Putusan sela hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan menyatakan dakwaan jaksa terhadap kasus Joko Tjandra
tidak dapat diterima. Joko Tjandra dilepaskan dari tahanan kota. Jaksa mengajukan
permohonan perlawanan ke Pengadilan
Tinggi.
31 Maret 2000
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
mengabulkan permohonan perlawanan ke Pengadilan Tinggi. Memerintahkan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memeriksa dan mengadili Joko Tjandra.
19 April 2000
19 April 2000
Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan menunjuk Soedarto (hakim ketua majelis), Muchtar Ritonga dan
Sultan Mangun (hakim anggota) sebagai Hakim yang memeriksa dan mengadili Joko
Tjandra.
April 2000 – Agustus 2000
Upaya berhasil. Proses
persidangan Joko Tjandra selaku Direktur Utama PT Era Giat Prima mulai
bergulir. Joko Tjandra didakwa jaksa penuntut umum (JPU) Antasari Azhar telah
melakukan tindak pidana Korupsi dalam kasus Bank Bali.
Fakta-fakta menunjukkan,
pemindahbukuan dari rekening bendaharawan negara ke Bank Bali berdasarkan
penjaminan transaksi PT BDNI terhadap Bank Bali menyebabkan kerugian negara
sebesar Rp 904.642.428.369.
Joko Tjandra pun dituntut
hukuman 1 tahun 6 bulan atau 18 bulan penjara. Joko juga dituntut membayar
denda sebesar Rp 30 juta subsider enam bulan kurungan, serta harus membayar
biaya perkara sebesar Rp 7.500.
Sedang uang sebesar Rp 546
miliar milik PT Era Giat Prima yang berada di escrow account Bank Bali agar
dikembalikan pada negara.
28 Agustus 2000
Majelis hakim memutuskan Joko
S Tjandra lepas dari segala tuntutan (onslag). Dalam putusannya, majelis hakim
menyatakan, sebenarnya dakwaan JPU terhadap perbuatan Joko Tjandra terbukti
secara hukum. Namun perbuatan tersebut bukanlah merupakan suatu perbuatan
pidana melainkan perbuatan perdata. Akibatnya, Joko Tjandra pun lepas dari
segala tuntutan hukum.
21 September 2000
Antasari, selaku JPU mengajukan kasasi.
26 Juni 2001
Majelis hakim agung MA
melepaskan Joko S Tjandra dari segala tuntutan. Putusan sendiri
diambil dengan mekanisme voting dikarenakan adanya perbedaan pendapat antara
hakim Sunu Wahadi dan M Said Harahap dengan hakim Artidjo Alkotsar mengenai
permohonan kasasi Joko Tjandra yang diajukan oleh JPU.
12 Juni 2003
Kepala Kejaksaan Negeri
Jakarta Selatan mengirim surat kepada direksi Bank Permata agar menyerahkan
barang bukti berupa uang Rp 546,4 miliar. Pada hari yang sama, direksi Bank
Permata mengirim surat ke BPPN untuk meminta petunjuk. Permintaan ini akhirnya
tak terwujud dengan keluarnya putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang
memenangkan BPPN.
17 Juni 2003
Direksi Bank Permata meminta
fatwa MA atas permintaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan di atas.
19 Juni 2003
BPPN meminta fatwa MA dan
penundaan eksekusi keputusan MA (Juni 2001) yang memperkuat keputusan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan yang membebaskan Joko Tjandra. Alasannya, ada dua
keputusan MA yang bertentangan.
25 Juni 2003
Fatwa MA untuk direksi Bank
Permata keluar. Isinya menyatakan MA tidak dapat ikut campur atas eksekusi
Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
1 Juli 2003
Kepala Pusat Penerangan Hukum
(Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Antasari Azhar menyatakan Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (BPPN) dinilai menghambat proses hukum yang sedang
dijalankan oleh Kejaksaan Agung selaku pihak eksekutor.
2 Maret 2004
Kejaksaan Negeri Jakarta
Selatan memanggil Direktur Utama PT Bank Permata Tbk, Agus Martowardojo.
Pemanggilan ini terkait dengan rencana eksekusi pencairan dana senilai Rp 546
miliar untuk PT Era Giat Prima (EGP) milik Joko Tjandra dan politikus Partai
Golkar Setya Novanto.
Oktober 2008
Kejaksaan Agung mengajukan
Peninjauan Kembali (PK) kasus korupsi cessie Bank Bali dengan terdakwa Joko
Tjandra ke Mahkamah Agung.
11 Juni 2009
Majelis Peninjauan Kembali MA
yang diketuai Djoko Sarwoko dengan anggota I Made Tara, Komariah E Sapardjaja,
Mansyur Kertayasa, dan Artidjo Alkostar memutuskan menerima Peninjauan
Kembali yang diajukan Jaksa. Selain hukuman penjara dua tahun, Joko
Tjandra juga harus membayar denda Rp 15 juta. Uang milik Djoko Tjandra di Bank
Bali sejumlah Rp 546.166.116.369 dirampas untuk Negara.
Imigrasi juga mencekal Djoko
Tjandra. Pencekalan ini juga berlaku bagi terpidana kasus cessie Bank Bali
lainnya, Syahril Sabirin. Mantan Gubernur BI yang juga divonis 2 tahun penjara.
16 Juni 2009
Joko mangkir dari panggilan
Kejaksaan untuk dieksekusi. Joko diberikan kesempatan 1 kali panggilan ulang,
jika tidak kooperatif akan dinyatakan buron. Diduga Joko saat ini berada di
Singapura.
Djoko mangkir dari panggilan
Kejaksaan untuk dieksekusi. Djoko diberikan kesempatan 1 kali panggilan ulang,
namun kembali tidak menghadiri panggilan Kejaksaan, sehingga Djoko dinyatakan
sebagai buron.
Djoko diduga telah melarikan
diri ke Port Moresby, Papua New Guinea, menggunakan pesawat carteran sejak 10
juni 2009 atau sehari sebelum vonis dibacakan oleh MA.
Juli 2012
Wakil Jaksa Agung Darmono
menyatakan otoritas pemerintah PNG telah memberikan kewarganegraan kepada Djoko
Tjandra, sehingga eksekusi terhadapnya mengalami kesulitan.
Sumber :
10 Pemimpin Politik Terkorup di
Dunia
Seorang politikus yang punya jabatan
tinggi disuatu negara seperti kepala negara tentu rentan terhadap godaan
korupsi. Hal tersebut terjadi karena banyak faktor. Mereka yang tergoda
dengan korupsi, ialah pemimpin yang memiliki mental yang lemah.
Selain itu, korupsi juga dilakukan
karena tingginya biaya politik yang mereka keluarkan atau pun karena mereka
ingin memperkaya diri sendiri dengan waktu yang singkat. Dan mengenai politikus
dan korupsi, berikut ini daftar 10 pemimpin politik yang namanya abadi karena
melakukan tindak korupsi.
1.
Soeharto
Soeharto adalah Presiden kedua Indonesia yang menjabat dari tahun 1967 sampai 1998, menggantikan Soekarno yang pernah menjabat sebagai presiden selama 32 tahun di
Indonesia.
Bahkan dia juga masuk dalam daftar
presiden terkorup di dunia. Dan tentunya hal ini bukan sebuah prestasi yang
patut dibanggakan. Selama menjabat, ia seringkali menempatkan keluarganya dalam
jajaran jabatan penting. Bahkan ia juga memberikan perusahaan-perusahaan
besar kepada anaknya.
Diperkirakan ia melakukan tindakan
untuk menguntungkan pribadinya sebesar 15 sampai 35 dolar atau sekitar Rp 465
triliun. Wah benar-benar nilai yang sangat fantastis.
2. Ferdinand Marcos
Presiden
Filipina yang menjabat pada tahun 1972 sampai tahun 1986 ini jadi presiden yang
paling terkorup kedua setelah Soeharto. Dalam masa pemerintahannya selama
14 tahun itu, ia memimpin dengan sifat diktator.
Dan
uang negara yang ia korupsi untuk kepentingan pribadinya sebesar 5 sampai 10
miliar dollar. Jika dirupiahkan uang tersebut benar-benar nilai yang
begitu fantastis yakni bernilai Rp 114 triliun.
3. Mobutu Sese Seko
Mobutu
merupakan salah satu pasien terkorup di dunia. Pemimpin yang memimpin Zaire
atau saat ini lebih dikenal Kongo ini, telah puluhan tahun berkuasa. Bahkan
masa jabatannya, lebih lama dari Soeharto yang hanya 32 tahun.
Ia
berkuasa mulai tahun 1969 sampai 1997. Selama menjabat sebagai presiden, ia
telah mengorupsi uang negara sebasar 5 miliar dollar. Jika dirupiahkan sebesar
Rp 66,5 triliun.
4. Sani Abcha
Saat
dipimpin oleh Sani Abcha, Nigeria mengalami berbagai macam permasalahan,
termasuk perang sipil. Mantan presiden Nigeria ini merupakan salah satu
presiden terkorup.
Ia
menyalahgunakan jabatannya untuk mengeruk keuntungan pribadinya di tengah
kelaparan yang melanda negaranya. Menjabat selama lima tahun, mulai tahun 1993
sampai 1998 ia telah melakukan korupsi sebesar 2 sampai 5 milyar dolar. Jika
dirupiahkan sebesar Rp 66, 5 triliun.
5. Slobodan Milosevic
Slobodan Milosevic adalah presiden Yugoslavia. Selama 11 tahun menjabat, mulai dari
tahun 1989 sampai tahun 2000, ia melakukan tindak korupsi yang cukup besar,
yakni mengorupsi uang negara sebesar 1 miliar dollar atau sekitar Rp 14,4
triliun.
Uang
sebanyak itu, digunakannya untuk kesenangan pribadi dan memperkaya dirinya
sendiri. Namun aksinya tersebut harus berakhir setelah ditangkap dan
dijatuhi hukuman penjara.
6. Jean Claude Duvalier
Jean Claude Duvalier merupakan presiden yang melakukan korupsi dan berhasil
mencuri uang negaranya sendiri, Haiti. Ia merupakan presiden ke -30 yang
mulai menjabat pada tahun 1971 sampai 1986.
Selama
menjadi presiden, ia menyalahgunakan jabatannya untuk mengeruk uang negara
dengan jumlah angka yang cukup fantastis yakni sekitar 300 sampai 800
juta dolar atau sekitar Rp 11 triliun.
Jean
sendiri juga cukup akrab dengan pemerintah Amerika setelah mendirikan
lembaga anti komunis. Ia sendiri memiliki gaya hidup yang cukup
mewah. Bahkan dalam pernikahannya, ia mendapatkan sponsor dari negara
sebesar 3 juta dollar.
7. Alberto Fujiomoro
Pria
kelahiran 1938 ini merupakan presiden ke 90 dari negara Peru. Ia menjabat
mulai dari tahun 1990 sampai dengan 2000. Meskipun ia menciptakan sistem
ekonomi yang stabil di Peru, namun ia melakukan pemerintahan dengan otoriter
dan menyalahgunakannya untuk korupsi.
Ia
merupakan warga Peru yang memiliki keturunan Jepang. Saat ia terlibat
skandal korupsi, ia sempat melarikan diri ke Jepang. Saat itu ia sempat
membuat pengunduran diri sebagai Presiden, namun pemerintah Peru, tetap ingin
memberikan hukuman kepada Fujimoro.
Meskipun
ia juga sempat kabur ke Chili, namun ia tetap berhasil ditangkap dan akhirnya
di extradisi ke Peru untuk dihukum. Selama 10 tahun menjabat, ia telah memakan
uang rakyat sebesar 600 juta dolar atau sekitar Rp 8,3 triliun.
8. Pavlo Lazarenko
Pavlo
Lazarenko memang bukanlah Presiden Ukraina. Ia hanya seorang perdana
menteri. Meskipun begitu, ia pun ikut terlibat dalam kasus korupsi di
negara Ukraina. Bahkan ia melakukan tindak korupsi hanya dalam waktu singkat ia
menjabat.
Selama
setahun ia menjabat, mulai tahun 1996 sampai 1997, ia telah mengkorupsi uang
negara sebesar 114 sampai 200 juta dolar atau sekitar Rp 2,33 triliun. Dan bisa
dibayangkan, jika ia menjabat lebih lama lagi, atau menjadi seorang presiden,
berapa besar uang yang akan ia korupsi.
9. Arnoldo Aleman
Sebelum
menjadi Presiden Nicaragua, dulunya Arnoldo merupakan seorang pengacara. Namun
sebagai seorang yang mengerti hukum, ia malah melakukan perubahan yang tak
patut dicontoh. Ia justru melakukan tindak korupsi yang merugikan
Nicaragua.
Ia
menjadi Presiden Nicaragua pada tahun 1997 sampai tahun 2002. Saat ia
menjadi seorang presiden, Arnoldo melakukan korupsi senilai 100 juta dolar atau
sekitar Rp 1,33 triliun.
Karena
ulahnya tersebut, seperti penggelapan uang, pencucian uang, ia pun akhirnya
dihukum selama 20 penjara.
10. Joseph Estrada
Pria
kelahiran 1937 ini, merupakan Presiden ke 13 Filipina periode 1998 sampai
2001. Sebelum berkiprah dalam dunia politik, Joseph merupakan
seorang aktor film yang sudah seringkali main dan mendapatkan penghargaan.
Saat menjadi
presiden, ia ketahuan menjarah uang negara sebesar 78 sampai 80 juta dolar atau
sekitar Rp 1 triliun lebih. Hingga akhirnya ia dihukum beberapa tahun. Namun
pada 2007, ia mendapatkan pengampunan tanpa syarat dari Presiden Gloria
Macapagal Arroyo.
Diatas adalah rincian 10 pemimpin
politik yang memberikan jejak negatif pada bangsanya yaitu menjadi pemimpin
politik terkorup di dunia dan nomor pertama adalah soeharto yaitu presiden ke2
di Indonesia.
sumber : https://www.malangtimes.com/baca/38471/20190421/092400/10-pemimpin-negara-terkorup-sepanjang-masa-siapa-juaranya
sumber : https://www.malangtimes.com/baca/38471/20190421/092400/10-pemimpin-negara-terkorup-sepanjang-masa-siapa-juaranya