Senin, 04 Juni 2018

Hukum Perlindungan Konsumen

Hukum Perlindungan Konsumen
Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, kita selalu terlibat dalam suatu hal yang dinamakan transaksi. Transaksi dapat kita lakukan secara langsung yakni bertemunya secara langsung antara penjual dan pembeli atau secara tidak langsung seperti transaksi yang dilakukan secara online. Ketika menjalankan transaksi tersebut kita dapat berperan sebagai siapa saja, baik pelaku usaha maupun konsumen. 

Dalam menjalankan peran sebagai pelaku usaha, ada prinsip yang dijunjung tinggi yaitu mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin dengan mengeluarkan biaya atau pengorbanan sekecil-kecilnya. Untuk merealisasikan prinsip ini, pelaku usaha dapat melakukan hal yang merugikan konsumen. 

Menurut Janus sitabalok, ada 4 perbuatan yang dapat merugikan konsumen:
1.      Menaikan Harga
Hal ini dapat terjadi apabila pelaku usaha atau beberapa pelaku usaha memonopoli suatu produk sehingga konsumen tidak memiliki pilihan selain menkonsumsi produk tsb.
2.      Menurunkan Mutu
hal inipun bisa terjadi apabila ada perbuatan monopoli yang dilakukan para pelaku usaha
3.      Dumping
yaitu menurunkan harga suatu produk sampai dibawah biaya produksi. sehingga harga jual di luar negeri lebih rendah dibanding didalam negeri. biasanya hal ini untuk menjatuhkan pelaku usaha yang lain
4.      Memalsukan produk
yaitu memproduksi suatu produk dan membrikan merek dengan merek yang sudah terkenal dimasyarakat, seolah-olah itu barang asli padahal bukan atau palsu. 

Sebagai konsumen, kita pasti tidak menginginkan hal tersebut terjadi kepada kita. Sehingga untuk menghindari hal tersebut terjadi pemerintah membuat hukum perlindungan konsumen.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Pemerintah RI pada tanggal 20 April 1999 telah mensahkan UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sebenarnya sebelum undang-undang perlindungan konsumen disahkan, hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha secara tidak langsung telah diatur dan tersebar didalam berbagai peraturan yang dapat dikelompokkan kedalam empat bagian besar, yakni perindustrian, perdagangan, kesehatan dan lingkungan hidup. Namun tidak  mungkin bagi seorang konsumen yang buta hukum untuk mencari berbagai hak dan kewajibannya di segunung tumpukkan peraturan. Selain itu, kelemahan dari peraturan-peraturan yang muncul sebelum Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah :
·         Definisi yang digunakan tidak dikhususkan untuk perlindungan konsumen
·         Posisi konsumen lebih lemah
·         Prosedurnya rumit dan sulit dipahami oleh konsumen
·         Penyelesaian sengketa memakan waktu yang lama dan biayanya tinggi

Selain Undang-Undang tersebut, ada banyak lagi dasar hukum yang dapat dijadikan perlindungan oleh konsumen yaitu :
·         Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
·    Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821.
·       Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
·         Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa.
·        Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.
·      Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota.
·     Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen.

Meskipun ditujukan untuk melindungi kepentingan konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak bertujuan untuk mematikan pelaku usaha. Dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha diharapkan lebih termotivasi untuk meningkatkan daya saingnya dengan memperhatikan kepentingan konsumen.

Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 pasal 1 angka 1 yang berbunyi “Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada Konsumen.” Rumusan pengertian perlindungan Konsumen yang terdapat dalam pasal tersebut, cukup memadai. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan Konsumen, begitu pula sebaliknya menjamin kepastian hukum bagi konsumen. (Ahamadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004) hal. 1).

Selain itu, ada Pengertian Perlindungan Konsumen di kemukakan oleh berbagai sarjana hukum salah satunya Az. Nasution, Az. Nasution mendefinisikan Perlindungan Konsumen adalah bagian dari hukum yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan Konsumen. Adapun hukum Konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain yang berkaitan dengan barang dan/atau jasa Konsumen dalam pergaulan hidup. (AZ. Nasution, op.cit., hal.22).


Contoh Kasus
Dokumen Mobil Hilang, Warga Aceh Somasi JNE
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Seorang Warga Aceh atas nama Hasan Basri M. Nur melalui kuasa hukumnya dari Yayasan Advokasirakyat Aceh (YARA), Rabu (29/06/16) mensomasi PT TIKI Jalur Nugraha Ekakurir (JNE).
Somasi ini dilakukan karena perusahaan pengiriman barang nasional tersebut telah menghilangkan dokumen mobil milik korban yang dikirim melalui JNE sekitar dua bulan lalu.
Bahkan hingga saat ini pihak JNE masih belum mau mengakomodir semua kerugian korban. Ia menilai perusahaan itu tidak amanah dalam mengirim barang masyarakat Aceh.
Safaruddin SH, Ketua YARA yang juga kuasa hukum dari Hasan Basri, melalui siaran pers yang dikirim ke serambinews.com Senin (25/7/2016) mengatakan Tidak aman mengirim barang melalui perusahaan jasa kurir PT. TIKI JNE. Dua bulan lalu dokumen mobil Honda Jazz milik warga Aceh yang dikirimkan dari Jakarta dihilangkan pihak JNE.
Akibat kerja JNE yang semraut itu, korban menderita kerugian materil Rp188 juta setara harga mobil. Hingga kini manajemen JNE pusat belum membayar kerugian korban.
“Dokumen mobil milik warga Aceh yang bekerja sebagai wartawan itu hilang di tangan JNE. Dokumen itu dikirim dari Jakarta pada tanggal 31 Mei 2016 dengan nomor resi CKG6N00460384416. JNE mengabarkan barang itu bersama barang satu kotak lainnya telah hilang. Betul-betul tidak aman mengirim barang via JNE,” kata Safaruddin SH, Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) kepada wartawan di Banda Aceh, Senin (25/7/2016).
“Saya selaku kuasa hukum korban sudah pernah melayangkan somasi pada Rabu tanggal 29 Juni 2016, tapi pihak JNE masih belum mau mengakomodir semua kerugian korban. Oleh sebab itu, pada hari ini, Senin (25/7), kami mengirim somasi kedua kepada Direksi JNE agar mereka tidak main-main dengan kasus ini”, ujar Safaruddin yang juga Ketua Tim Pengacara Muslim (TPM) dan Pembina Jaringan Kemandirian Nasional (JAMAN) Provinsi Aceh.
Selama ini, kata Safaruddin, kliennya selain sebagai wartawan juga menjalankan bisnis jual beli mobil untuk mendapatkan tambahan penghasilan halal.
“Dari bisnis ini, klien kami mendapat keuntungan sekitar Rp. 10 juta per bulan. Jadi, kami menuntut manajemen JNE untuk mengganti semua kerugian korban, termasuk kerugian immaterial sebesar Rp. 1 miliar,” tambahnya.
“Klien kami sebagai warga negara dan konsumen dilindungi haknya oleh undang-undang. Perlindungan hak konsumen harus ditempatkan di atas hak-hak lainnya. Jadi, pemilik perusahaan tidak dibenarkan untuk mencari dalih apalagi bermain-main. Kami berharap manajemen JNE menyikapi sengketa ini dengan baik dan adil sebelum sampai ke pengadilan,” kata Safaruddin yang juga Ketua Ikatan Advokad Indonesia (IKADIN) Aceh ini.
Sebagai lembaga advokasi publik di Aceh, lanjut Safaruddin, YARA akan tetap berjuang dalam mewujudkan keadilan bagi seluruh warga Aceh. “Kami akan menempuh berbagai cara agar keadilan dan hak-hak masyarakat terpenuhi. Kalau perusahaan membangkang bisa saja kami mendesak pemerintah agar membekukan izin operasional PT. TIKI JNE agar tidak memakan korban lebih banyak lagi,” katanya.
“Sejatinya perusahaan kurir swasta harus mengutamakan pelayanan terbaik melebihi PT. Pos Indonesia yang merupakan perusahaan kurir negara. Ini malah sebaliknya, PT. Pos jauh lebih profesional, ini kan aneh?,” ujar pria yang pernah sukses menggugat pasal calon independen dalam UUPA di Mahkamah Konstitusi itu.

Analisis Kasus:
Kejadian seperti ini tentunya dapat menggambarkan bahwa konsumen tidak lagi mendapatkan haknya untuk dapat memiliki rasa aman untuk menggunakan suatu jasa pengiriman barang. Kejadian ini tentunya sangat merugikan konsumen dan perusahaan itu sendiri dimana jika kejadian ini terjadi berulang kali mungkin perusahaan tersebut akan kehilangan kepercayaannya oleh konsumen sehingga berpengaruh pada bisnis yang dijalankannya.

 

Daftar Pustaka