Hukum Perlindungan Konsumen
Dalam
menjalankan kehidupan sehari-hari, kita selalu terlibat dalam suatu hal yang
dinamakan transaksi. Transaksi dapat kita lakukan secara langsung yakni
bertemunya secara langsung antara penjual dan pembeli atau secara tidak
langsung seperti transaksi yang dilakukan secara online. Ketika menjalankan
transaksi tersebut kita dapat berperan sebagai siapa saja, baik pelaku usaha maupun
konsumen.
Dalam
menjalankan peran sebagai pelaku usaha, ada prinsip yang dijunjung tinggi yaitu
mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin dengan mengeluarkan biaya atau
pengorbanan sekecil-kecilnya. Untuk merealisasikan prinsip ini, pelaku usaha
dapat melakukan hal yang merugikan konsumen.
Menurut
Janus sitabalok, ada 4 perbuatan yang dapat merugikan konsumen:
1. Menaikan
Harga
Hal ini dapat terjadi
apabila pelaku usaha atau beberapa pelaku usaha memonopoli suatu produk
sehingga konsumen tidak memiliki pilihan selain menkonsumsi produk tsb.
2. Menurunkan
Mutu
hal inipun bisa terjadi
apabila ada perbuatan monopoli yang dilakukan para pelaku usaha
3. Dumping
yaitu menurunkan harga suatu produk sampai dibawah biaya produksi. sehingga harga jual di luar negeri lebih rendah dibanding didalam negeri. biasanya hal ini untuk menjatuhkan pelaku usaha yang lain
yaitu menurunkan harga suatu produk sampai dibawah biaya produksi. sehingga harga jual di luar negeri lebih rendah dibanding didalam negeri. biasanya hal ini untuk menjatuhkan pelaku usaha yang lain
4. Memalsukan
produk
yaitu memproduksi suatu produk dan
membrikan merek dengan merek yang sudah terkenal dimasyarakat, seolah-olah itu
barang asli padahal bukan atau palsu.
Sebagai
konsumen, kita pasti tidak menginginkan hal tersebut terjadi kepada kita.
Sehingga untuk menghindari hal tersebut terjadi pemerintah membuat hukum
perlindungan konsumen.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Pemerintah
RI pada tanggal 20 April 1999 telah mensahkan UU No.8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Sebenarnya sebelum undang-undang perlindungan konsumen
disahkan, hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha secara tidak langsung
telah diatur dan tersebar didalam berbagai peraturan yang dapat dikelompokkan
kedalam empat bagian besar, yakni perindustrian, perdagangan, kesehatan dan
lingkungan hidup. Namun tidak mungkin
bagi seorang konsumen yang buta hukum untuk mencari berbagai hak dan
kewajibannya di segunung tumpukkan peraturan. Selain itu, kelemahan dari
peraturan-peraturan yang muncul sebelum Undang-Undang Perlindungan Konsumen
adalah :
·
Definisi yang digunakan tidak dikhususkan
untuk perlindungan konsumen
·
Posisi konsumen lebih lemah
·
Prosedurnya rumit dan sulit dipahami oleh
konsumen
·
Penyelesaian sengketa memakan waktu yang
lama dan biayanya tinggi
Selain
Undang-Undang tersebut, ada banyak lagi dasar hukum yang dapat dijadikan
perlindungan oleh konsumen yaitu :
·
Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1),
pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
· Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42
Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821.
· Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
·
Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang
Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa.
· Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001
tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.
· Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam
Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang
ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota.
· Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan
Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan
Konsumen.
Meskipun
ditujukan untuk melindungi kepentingan konsumen. Undang-Undang Perlindungan
Konsumen tidak bertujuan untuk mematikan pelaku usaha. Dengan adanya Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, pelaku usaha diharapkan lebih termotivasi untuk
meningkatkan daya saingnya dengan memperhatikan kepentingan konsumen.
Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
pasal 1 angka 1 yang berbunyi “Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada Konsumen.”
Rumusan pengertian perlindungan Konsumen yang terdapat dalam pasal tersebut,
cukup memadai. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan
sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan
perlindungan Konsumen, begitu pula sebaliknya menjamin kepastian hukum bagi
konsumen. (Ahamadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004) hal. 1).
Selain
itu, ada Pengertian Perlindungan Konsumen di kemukakan oleh berbagai sarjana
hukum salah satunya Az. Nasution, Az. Nasution mendefinisikan Perlindungan
Konsumen adalah bagian dari hukum yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang
bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan
Konsumen. Adapun hukum Konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan
kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak
satu sama lain yang berkaitan dengan barang dan/atau jasa Konsumen dalam
pergaulan hidup. (AZ. Nasution, op.cit., hal.22).
Contoh Kasus
Dokumen Mobil
Hilang, Warga Aceh Somasi JNE
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH
- Seorang Warga Aceh atas nama Hasan Basri M. Nur melalui kuasa hukumnya dari
Yayasan Advokasirakyat Aceh (YARA), Rabu (29/06/16) mensomasi PT TIKI Jalur
Nugraha Ekakurir (JNE).
Somasi
ini dilakukan karena perusahaan pengiriman barang nasional tersebut telah
menghilangkan dokumen mobil milik korban yang dikirim melalui JNE sekitar dua bulan
lalu.
Bahkan
hingga saat ini pihak JNE
masih belum mau mengakomodir semua kerugian korban. Ia menilai perusahaan itu
tidak amanah dalam mengirim barang masyarakat Aceh.
Safaruddin
SH, Ketua YARA
yang juga kuasa hukum dari Hasan Basri, melalui siaran pers yang dikirim ke serambinews.com
Senin (25/7/2016) mengatakan Tidak aman mengirim barang melalui perusahaan jasa
kurir PT. TIKI JNE.
Dua bulan lalu dokumen mobil Honda Jazz milik warga Aceh yang dikirimkan dari
Jakarta dihilangkan pihak JNE.
Akibat
kerja JNE yang
semraut itu, korban menderita kerugian materil Rp188 juta setara harga mobil.
Hingga kini manajemen JNE
pusat belum membayar kerugian korban.
“Dokumen
mobil milik warga Aceh yang bekerja sebagai wartawan itu hilang di tangan JNE. Dokumen itu
dikirim dari Jakarta pada tanggal 31 Mei 2016 dengan nomor resi
CKG6N00460384416. JNE
mengabarkan barang itu bersama barang satu kotak lainnya telah hilang.
Betul-betul tidak aman mengirim barang via JNE,” kata Safaruddin
SH, Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) kepada wartawan di Banda Aceh,
Senin (25/7/2016).
“Saya
selaku kuasa hukum korban sudah pernah melayangkan somasi pada Rabu tanggal 29
Juni 2016, tapi pihak JNE
masih belum mau mengakomodir semua kerugian korban. Oleh sebab itu, pada hari
ini, Senin (25/7), kami mengirim somasi kedua kepada Direksi JNE agar mereka tidak
main-main dengan kasus ini”, ujar Safaruddin yang juga Ketua Tim Pengacara
Muslim (TPM) dan Pembina Jaringan Kemandirian Nasional (JAMAN) Provinsi Aceh.
Selama
ini, kata Safaruddin, kliennya selain sebagai wartawan juga menjalankan bisnis
jual beli mobil untuk mendapatkan tambahan penghasilan halal.
“Dari
bisnis ini, klien kami mendapat keuntungan sekitar Rp. 10 juta per bulan. Jadi,
kami menuntut manajemen JNE
untuk mengganti semua kerugian korban, termasuk kerugian immaterial sebesar Rp.
1 miliar,” tambahnya.
“Klien
kami sebagai warga negara dan konsumen dilindungi haknya oleh undang-undang.
Perlindungan hak konsumen harus ditempatkan di atas hak-hak lainnya. Jadi,
pemilik perusahaan tidak dibenarkan untuk mencari dalih apalagi bermain-main.
Kami berharap manajemen JNE
menyikapi sengketa ini dengan baik dan adil sebelum sampai ke pengadilan,” kata
Safaruddin yang juga Ketua Ikatan Advokad Indonesia (IKADIN) Aceh ini.
Sebagai
lembaga advokasi publik di Aceh, lanjut Safaruddin, YARA akan tetap
berjuang dalam mewujudkan keadilan bagi seluruh warga Aceh. “Kami akan menempuh
berbagai cara agar keadilan dan hak-hak masyarakat terpenuhi. Kalau perusahaan
membangkang bisa saja kami mendesak pemerintah agar membekukan izin operasional
PT. TIKI JNE agar
tidak memakan korban lebih banyak lagi,” katanya.
“Sejatinya
perusahaan kurir swasta harus mengutamakan pelayanan terbaik melebihi PT. Pos
Indonesia yang merupakan perusahaan kurir negara. Ini malah sebaliknya, PT. Pos
jauh lebih profesional, ini kan aneh?,” ujar pria yang pernah sukses menggugat
pasal calon independen dalam UUPA di Mahkamah Konstitusi itu.
Analisis
Kasus:
Kejadian
seperti ini tentunya dapat menggambarkan bahwa konsumen tidak lagi mendapatkan
haknya untuk dapat memiliki rasa aman untuk menggunakan suatu jasa pengiriman
barang. Kejadian ini tentunya sangat merugikan konsumen dan perusahaan itu
sendiri dimana jika kejadian ini terjadi berulang kali mungkin perusahaan
tersebut akan kehilangan kepercayaannya oleh konsumen sehingga berpengaruh pada
bisnis yang dijalankannya.
Daftar Pustaka